Jumat, 05 Juni 2009

MEMBUAT TAHU BAKSO

Pertemuan kali keempat, kelompok pemberdayaan Padepokan Musa Asy’arie, diisi dengan membuat tahu bakso. Bertempat di rumah ibu Eny, dengan pertimbangan dapur Ibu Eny lebih luas , selain itu “ Di Rumah bu Eny saja, supaya nanti kalau kekurangan apa-apa tinggal ambil” Usul ibu Tin, sebelum pertemuan.
Jadilah, Sabtu itu, 30 mei 2009, anggota pemberdayaan membuat tahu bakso, tepat pukul 16:00 WIB. Ibu Tin didaulat menjadi chef-nya. Maklum, dialah yang paling ahli memasak dibandingkan yang lainnya.
Dengan Lihai, Ibu Eny membuat adonan isi Tahu. Adonan itu berisi daging yang digiling, Ibu Eny yang menggilingnya. kemudian ibu Tin memasukkan kanji dan menghaluskan bumbu, yaitu bawang putih dan merica. Diaduk rata, dan ditambahkan telor. Usai membuat adonan, Ibu Mujirah membantu memasukkan adonan ke dalam Tahu dan menggorengnya.
Ibu Tuminah dan Ibu Mulyani adalah tetangga yang paling dekat dengan ibu Tin, hanya berjarak sekira tiga rumah. Meski begitu, sangat sedikit intensitas mereka membicarakan permasalahan pekerjaan. Maklum, setiap hari mereka sibuk dengan pekerjaan sendiri-sendiri, sehingga interaksi antar mereka, sangat jarang terjadi. Padahal, IBu Tin, salah satu anggota pemberdayaan, adalah pedagang Batagor, yang pernah juga berjualan tahu bakso.
Seluruh anggota PADMA pemberdayaan datang dalam acara itu, ada ibu Mulyani, Ibu Tuminah, Ibu Mujirah, Pak Sumitro, dan Ibu Eny. Mereka begitu antusias dibuktikan dengan membantu ibu Tin memasak sambil sesekali bertanya.
Usai memasak, Ibu Tin pun menjelaskan tentang proses cara membuat tahu bakso yang enak dan sehat. Ibu-ibu yang lain antusias mendengarkan. Sambil mencicipi, ibu Tuminah berkata, “ Mpak nyuss” meniru gaya Bondan, sang kuliner di Trans TV. Setelah itu Pak Sumitro, bertanya, “ Kalau misalnya, dagingnya dikurangi bisa?”
“ Tentu saja, bisa saja, tergantung selera kantong, hehe.” Jawab bu Tin, dengan sedikit bercanda.
Usai Tanya Jawab, Ibu Eny, mengatakan “Wah nanti, kalau saya dapat jatah arisan, saya akan membuat tahu bakso, ternyata membuatnya mudah dan cepat”. Kemudian IBu Mulyani, yang saat itu sedang menggendong anaknya, sambil tersenyum dan dengan optimis menambahkan, “Wah, kalau begitu, saya akan membuat tahu bakso ini, untuk jajan anak-anak, biar tidak sering jajan di luar, khan lumayan biar ngirit.”(Padma-30 Mei 2009)

Selasa, 02 Juni 2009

Sekolah Etika Politik



Latar Belakang
• Politik senantiasa identik dengan kekuasaan dan “kejahatan” serta kekerasan, sehingga memungkinkan seseorang untuk selalu sikut-menyikut dalam semua arena perebutan.
• Bahkan yang paling menyedihkan adalah bahwa politik selalu berimpitan dengan perebutan kekuasaan. Dan kekuasaan identik dengan uang, bahkan kematian banyak orang, karena politik juga identik dengan pertarungan dengan model machiavelian.
• Politik yang pada awalnya memiliki makna luhur untuk mencerahkan dan mensejahterakan masyarakat, berubah menjadi “monster” berwatak jahat dan pemangsa manusia. Rakyat banyak tidak lebih sebagai makhluk yang setiap saat harus rela dikebiri dan dibantai hasrat kesejahteraanya. Rakyat hanya boleh melihat dan meminta tetapi belum tentu dikabulkan oleh para politisi berwatak jahat.
• Hal itu karena politik tidak lagi memiliki kesantunan (fatsoen) yang bisa menghargai perbedaan, keragaman dan proses yang demokratis. Politik berjalan di atas roda dan rel yang sangat menindas dan penuh dengan kekerasan-kekejaman pada publik (rakyat).
• Politik dalam makna yang demikian bahkan cenderung meminggirkan masyarakat dan mengorbankan orang yang dianggap sebagai “lawan politiknya”. Kerjasama dan negosiasi tidak berjalan dengan normal sehingga selalu menabrak norma-norma etika (moral) politik.
• Politisi akhirnya bergeser seakan-akan menjadi musuh rakyat, menjadi musuh sesama politisi dan yang lebih mengerikan adalah tidak memiliki karakter yang memadai untuk memimpin sebuah perubahan bangsa. Rakyat menjadi “emoh” pada politik dan politisi. Fenomena maraknya apatisme politik dengan Golput menunjukkan jika fatsoen politik sudah mulai ditinggalkan para politisi dan para elit politik di negeri ini. Kondisi seperti ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.
• Etika politik dan fatsoen-fatsoen politik tidak boleh terus dilupakan, sementara pertarungan merebut kekuasaan dan uang menjadi ajang yang paling sempurna. Oleh karena itu, perlu rumusaan etika politik agar bangsa ini bisa menjadi bangsa yang beradab, maju dan lebih cerdas di masa depan

Tujuan
• Menggali khazanah etika politik dalam tradisi politik kontemporer
• Memberikan pijakan pada para politisi, pengambil kebijakan untuk menerapkan kesantunan-kesantunan politik dalam bertindak dan mengambil kebijakan
• Memberikan ruang untuk saling belajar antar politisi di Indonesia
• Memberikan ruang untuk berdiskusi dan kemampuan mengapresiasi atas perbedaan dan keragaman dalam praktik politik Indonesia
• Berfikir kritis, mandiri, dan menghargai adanya perbedaan dalam pilihan, metode dan praktek politik

Materi Kuliah
• Etika-Moral sebagai Landasan Politik
• Solidaritas Sosial sebagai Politik
• Rekayasa Menuju Keadilan Sosial
• Rasionalitas Nilai dalam Politik
• Hukum sebagai Etika Politik
• Komunikasi sebagai Etika Politik
• Negosiasi sebagai Etika Politik
• Kekuasaan dalam Etika Politik

Pengajar
• Dr. Haryatmoko, SJ
• Dr. GP. Sindhunata, SJ
• Dr. Sugeng Bayu Wahyono
• Prof. Dr. Heru Nugroho
• Prof. Dr. Musa As’yarie
• Budi Santoso, LLM
• Dr. Lukas Ispandriarno
• Lambang Trijono, MA