Minggu, 12 April 2009

Diskusi Ahli "Pemilu 2009, Idiologi Kebangsaan dan Etika Politik" Padepokan Musa As'arie (Kompas, 6 April 2009)

Pemilu 2009, Pasar, Korupsi, dan Etika Politik
KOMPAS.com - Menjelang Pemilu Legislatif 9 April 2009, iklan politik gencar muncul di berbagai media. Seperti halnya iklan yang menawarkan produk konsumsi, iklan politik juga menggunakan teknik merayu untuk memasarkan partai politik, calon anggota legislatif, dan program.

Calon pun diperlakukan layaknya konsumen, yaitu membeli yang menguntungkan. Menurut Dr Haryatmoko SJ, pakar etika politik dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, dalam diskusi ”Pemilu 2009, Ideologi Kebangsaan dan Etika Politik”, pekan lalu di Yayasan Padepokan Musa Asy’arie Yogyakarta, budaya kapitalisme baru memengaruhi konstituen dan warga negara dalam berhadapan dengan politik. Masyarakat yang konsumtif memengaruhi perilaku dan sikap politiknya.

Haryatmoko berpandangan, demokrasi (pemilu) cenderung diarahkan oleh pasar. Warga negara seperti konsumen. Pembelian bergantung pada pencitraan dan pasar. Politik pencitraan sudah berjalan sangat kuat melalui iklan politik, baik melalui media atau baliho dan poster yang bertebaran di pinggir jalan.

Ideologi kehilangan kemampuannya dalam memobilisasi massa. Orang bosan dengan ideologi yang tidak lagi mampu memberi janji. Masyarakat yang konsumtif menjadikan orang lebih pragmatis. Siapa yang memberikan uang lebih banyak, maka dia yang akan dipilih. Bahkan orang tidak melihat dan bertanya lagi, siapa pemberi uang dan apa ideologinya. Di sini tidak ada lagi pemisahan ekonomi, ideologi, dan kebudayaan.

Korupsi

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan suara terbanyak sebagai dasar penetapan calon anggota legislatif (caleg) terpilih bagai pedang bermata dua. Keputusan itu membuka persaingan terbuka antarcaleg. Kondisi ini memacu praktik politik uang dan persaingan yang tidak sehat. Walaupun putusan tersebut bisa menjadi awal dinamika baru, yaitu kepentingan konstituen lebih diperhatikan dan melemahkan daya tawar partai.

Tantangan terberat terletak pada maraknya politik uang dan rendahnya kualitas caleg. Politik kini berubah menjadi lingkaran mencari mata pencarian. Ini bisa dilihat dari daftar caleg yang dipenuhi pencari kerja. Mengutip Hannah Arendt, politik bukan lagi seni untuk berjasa kepada masyarakat. Politik menjadi lingkaran mata pencarian. Lingkaran proses produksi-konsumsi. Politik dimaknai sebagai upaya untuk bertahan hidup, bukan lagi seni untuk membantu menyejahterakan masyarakat.

Realitas paling mencolok adalah praktik politik uang dengan memberikan uang atau barang lain agar memilih partai atau caleg. Uang dicari untuk menopang konsumsi massa. Uang yang akhirnya mengarahkan sistem demokrasi.

Kondisi itu menjadikan demokrasi bukannya meniadakan korupsi, tetapi malah kian membuka peluang korupsi dengan model baru. Menurut Haryatmoko, politik uang biasanya mendapatkan sumber pembiayaan dari korupsi kartel elite, yaitu korupsi yang mendapat dukungan jaringan politik, ekonomi, militer, birokrasi, atau elite komunal.

Banyak partai diduga terlibat dalam pencarian dana melalui jabatan atau badan usaha milik pemerintah. Namun, korupsi kartel elite sulit dilacak. Ini karena lemahnya kemauan politik membongkar praktik korupsi jenis ini. Untuk memeriksanya mustahil karena hampir semua pihak terlibat.

Korupsi sering mengambil bentuk jaringan kerja sama yang menyangkut seluruh kehidupan politik dan pemerintahan. Biasanya korupsi mengambil bentuk ”struktur korporatis”. Anggota parpol tidak lagi bertanggung jawab secara individual atas tindakannya. Sejauh posisi partai tidak terancam, anggota yang korupsi biasanya akan dilindungi. Kalau bukti telanjur kuat, parpol cenderung membiarkan anggota yang terlibat menghadapi sendiri tuduhannya atau bahkan dilepas dari parpol.

Etika politik

Korupsi yang lekat dengan praktik kekuasaan kian menyadarkan urgensi membangun etika politik. Etika politik, papar Haryatmoko, bukan hanya terkait perilaku politisi, melainkan juga upaya membangun tatanan politik, yaitu produk hukum dan institusi politik yang adil. Perilaku politisi hanya satu dari tiga dimensi etika politik.

Tiga dimensi etika politik yang menentukan dinamika politik, yaitu dimensi tujuan politik, pilihan sarana, dan aksi politik. Dimensi tujuan etika politik, yaitu mencapai kesejahteraan masyarakat dan hidup damai berdasarkan pada kebebasan dan keadilan. Dalam negara demokratis, pemerintah bertanggung jawab mewujudkan komitmen tersebut.

Pada dimensi sarana pencapaian tujuan politik, harus diwujudkan tatanan politik (produk hukum dan institusi) yang mengikuti prinsip solidaritas dan subsidiaritas, keadilan prosedural dan penerimaan terhadap pluralitas, yaitu dihargainya ruang kebebasan politik dan kesamaan.

Prinsip subsidiaritas mengatur hubungan antara individu, kelompok, dan negara, terutama dalam mewujudkan keadilan distributif. Prinsip solidaritas mengandaikan keterlibatan warga negara untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Pada dimensi ini kekuatan-kekuatan politik ditata sesuai dengan prinsip timbal balik.

Pada dimensi ketiga, yakni aksi politik, politisi menentukan rasionalitas politik. Penguasaan manajemen konflik adalah syarat aksi politik yang etis, tindakan politisi harus didasari keberpihakan kepada yang lemah.

Yudi Latief, Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (PSIK-Indonesia), berpendapat, dalam etika politik, modal moral, seperti kejujuran, perlu dimasukkan dalam sistem politik untuk membangun perilaku politik yang beretika.

Tantangan yang dihadapi kini adalah memperbaiki tatanan politik yang memungkinkan berkembangnya etika politik. Sebab, dalam tatanan politik yang buruk akan melahirkan warga negara yang beretika buruk pula. Seorang individu yang semula adalah individu yang baik ketika masuk dalam arena politik negara yang buruk akan terjerumus ikut berperilaku buruk, seperti terlibat dalam korupsi.

Mengutip Mohammad Hatta, sila pertama Pancasila adalah fundamen etik bernegara. Sila kedua, ketiga, keempat, dan kelima adalah fundamen politik.

(Erwin Edhi Prasetya)